Konservasi berbasis masyarakat ala Wanapaksi

Berbicara mengenai keanekaragaman hayati (kehati), saya meyakini bahwa desa memiliki posisi yang strategis. Menurut data KLHK dan BPS, ada l...

Berbicara mengenai keanekaragaman hayati (kehati), saya meyakini bahwa desa memiliki posisi yang strategis. Menurut data KLHK dan BPS, ada lebih dari 31 ribu desa yang berada di dalam kawasan hutan atau berbatasan langsung dengan hutan. Jumlah itu hampir separuh dari seluruh desa di Indonesia. Desa-desa di luar kawasan hutan pun bukan berarti tak potensial dari sisi kehatinya. Pada umumnya, kawasan perdesaan masih menyimpan habitat-habitat yang cenderung lebih bisa mendukung kehati dibandingkan dengan perkotaan. Sebagai reservoir kehati yang penting, kiranya perlu strategi yang tepat untuk mengelola desa-desa di negeri ini.

Salah satu strategi yang menurut saya bisa diambil dalam pengelolaan keanekaragaman hayati desa adalah melalui konservasi berbasis komunitas (community based conservation). Saya akan menyingkatnya sebagai "CBC". Secara sederhana, kita bisa mendefinisikannya sebagai upaya pelestarian dan pengelolaan keanekaragaman hayati yang mengajak sebanyak mungkin anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif. 

CBC sendiri telah muncul menjadi wacana global pada Kongres Taman Nasional Sedunia pada Oktober 1982, di Bali. Kemunculannya sejalan dengan perubahan konseptual dalam ilmu ekologi, antara lain: pergeseran dari paradigma mekanistis-reduksionistis ke pandangan holistik-sistemis, dari ekologi berbasis kepakaran beralih ke bentuk partisipatif, dan dimasukkannya manusia dalam konsep ekosistem. Meskipun CBC telah mengalami sejarah panjang, namun masih banyak pihak meragukan efektivitasnya.

Kali ini saya mencoba untuk merangkum beberapa pembelajaran yang bisa diambil dari satu kelompok masyarakat yang berkiprah di ujung barat Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Kalurahan Jatimulyo, Kapanewon Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo. Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi, namanya. Kelompok ini didirikan pada akhir tahun 2018 oleh beberapa warga yang mayoritas merupakan para mantan pemburu burung. Didukung oleh kebijakan pemerintah desa yang telah menerbitkan Peraturan Desa dan pendampingan dari beberapa NGO, Wanapaksi memopulerkan Jatimulyo sebagai “Desa Ramah Burung”. 

Implementasi konsep desa ramah burung sendiri lumayan beragam, di antaranya: pelaksanaan aturan hukum (perdes) terutama yang terkait dengan perlindungan burung, riset-riset partisipatif, pemanfaatan burung tanpa menangkap (misalnya melalui ekowisata), hingga beragam gerakan edukasi dan kampanye. 

Melalui gerakan desa ramah burung ini, Jatimulyo berhasil menekan angka perburuan. Peraturan desa yang didukung dan dikawal oleh masyarakat luas menjadi kekuatan besar untuk perlindungan jenis-jenis burung di Jatimulyo yang jumlahnya lebih dari 100 spesies. Di sisi lain, muncul ekowisata sebagai alternatif pemanfaatan ekonomi secara berkelanjutan. Gerakan yang dimotori Wanapaksi ini telah menginspirasi banyak desa-desa lain untuk melakukan hal yang sama. 

Menurut saya, Wanapaksi dan konsep desa ramah burung yang diusungnya ini layak dijadikan model/contoh CBC. Untuk itulah saya mencoba merangkum poin-poin pembelajaran dari CBC ala masyarakat Jatimulyo tersebut. Rangkuman ini tentu saja masih sangat dangkal. Namun begitu, saya berharap bisa menjadi pemantik parapihak untuk mengelaborasi secara lebih mendalam.


Pembelajaran mengenai keberlanjutan konservasi berbasis masyarakat (CBC) yang dijalankan Wanapaksi, antara lain: Pertama, proses penyadaran. Gerakan perubahan apapun mesti bermuara pada transformasi sosial. Begitupun dengan pelestarian alam/konservasi. Gerakan konservasi mesti berupaya memperbaiki paradigma (cara pandang) masyarakat terlebih dahulu. Perubahan paradigma inilah modal utama untuk terjadinya transformasi sosial-budaya masyarakat ke arah berkelanjutan. Perubahan yang sifatnya fundamental.

CBC harus mampu mengubah paradigma dan perilaku komunitas masyarakat dari pola-pola tidak berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Gerakan konservasi jangan sampai terjebak logika mekanistis-reduksionistis yang menganggap masyarakat hanya sebagai objek-objek atau dianalogikan sebagai mesin-mesin yang bisa dikendalikan secara programatik. Pada hakikatnya, kita semua adalah subjek-subjek yang punya “kehendak bebas”. Sebagai subjek-subjek berkehendak bebas, proses penyadaran memerlukan dialog yang terus-menerus yang bisa membangun kesadaran kritis, sebuah kondisi yang hanya bisa dicapai dengan proses-proses reflektif individu per individu sebagai subjek-subjek.

Pada konteks Jatimulyo, proses penyadaran masyarakat berjalan melalui interaksi antara masyarakat dengan para pengamat burung, peneliti, akademisi, pemerhati lingkungan, fotografer satwa liar yang telah mulai berdatangan ke Jatimulyo sejak awal 2000-an. Melalui interaksi itulah terjadi dialog-dialog yang mampu menggeser paradigma masyarakat sedikit demi sedikit. Terbitnya aturan hukum berupa Perdes 08 Tahun 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup menandai puncak kesadaran itu.

Kedua, proses penyadaran harus diikuti dengan pengorganisasian. Sebaik-baiknya ide, gagasan, atau niat tidak akan mengubah apapun tanpa mengorganisir orang. Arne Naess, penggagas "ekologi dalam" (deep ecology), juga menekankan bahwa paradigma dan perilaku berkelanjutan tidak boleh berhenti pada individu saja, namun harus menjadi budaya yang diterima secara komunal. Berdirinya Wanapaksi menjadi contoh bagaimana upaya penyadaran diikuti dengan pengorganisasian masyarakat. Wanapaksi sebagai sebuah lembaga berfungsi sebagai poros gerakan.

CBC pada prinsipnya mengajak sebanyak mungkin anggota sebuah komunitas masyarakat. Dalam pengorganisasian ada pembagian tugas atau peran. Keterlibatan anggota komunitas bisa saja disesuaikan dengan kelompok umur (boomers, gen x, gen y, gen z, gen alpha), maupun kelompok gender. Setiap kelompok umur maupun gender perlu diberikan ruang seluas-luasnya untuk berpartisipasi.  Dengan demikian, lembaga atau kelompok beserta gerakan yang diusungnya benar-benar menjadi milik semua kalangan.

Dilihat dari kecenderungan keaktifan, partisipasi anggota Wanapaksi kira-kira sebagai berikut: kalangan mantan pemburu (usia 30-50) banyak terlibat dalam program adopsi sarang dan usaha wisata; generasi muda (<30 tahun) banyak berkecimpung dalam program wisata, riset, edukasi, kampanye; kaum perempuan aktif dalam pengembangan homestay dan kuliner; sedangkan kalangan senior (>50 tahun) memelopori kegiatan seni budaya.

Ketiga, ada sistem yang efektif dan efisien di dalam organisasi. Gunanya sebagai mekanisme pemecahan masalah, mempermudah kerja, dan untuk menjamin adanya distribusi manfaat yang berkeadilan. Saya kira ada satu kunci keberhasilan pengorganisasian kelompok atau lembaga masyarakat yang sangat sederhana namun penting: pertemuan rutin kelompok. Wanapaksi dengan jumlah anggota sekitar 50 orang mampu bertahan selama lima tahun dan terus bertumbuh karena konsisten mengadakan pertemuan rutin tiap bulannya. Melalui pertemuan rutin inilah dinamika organisasi bisa dikelola dengan baik.

Selain itu, Wanapaksi membangun sistem organisasi yang mengedepankan demokrasi, mengelola administrasi secara transparan, serta memberi ruang untuk tumbuhnya inovasi. Kepemimpinan dipilih secara demokratis dan masa jabatannya dibatasi. Anggota yang dalam periode waktu tertentu tidak aktif atau tidak menjalankan kewajibannya, maka dianggap keluar.

Manfaat ekonomi dari kegiatan-kegiatan usaha seperti adopsi, wisata, dan kuliner didistribusikan kepada semua pihak yang terlibat sesuai dengan kontribusi yang diberikan. Semuanya telah diatur secara sistematis. Berlaku juga sistem penggiliran untuk penjualan jasa homestay dan jasa kelompok kuliner. Dengan adanya sistem, peluang munculnya permasalahan di dalam kelompok bisa diantisipasi sehingga para anggotanya bisa fokus pada hal-hal yang sifatnya strategis. Intinya, ada efektivitas dan efisiensi.

Keempat, pentingnya riset. Komunitas pengusung CBC perlu giat melakukan riset dalam berbagai bidang. Riset menjadi penopang utama gerakan konservasi yang diusung. Dengan adanya riset, kelompok atau komunitas masyarakat bisa terus memunculkan inovasi baru dalam praktik-praktik konservasi yang dijalankan. Riset juga menjadi dasar pertimbangan untuk pengembangan peluang ekonomi, maupun sosial-budaya masyarakat.

Riset-riset membutuhkan bantuan teknis dan peralatan. Pengetahuan tradisional yang telah dimiliki masyarakat dipertemukan dengan pengetahuan ilmiah bisa menghasilkan kombinasi yang baik. Banyak sekali pengetahuan tradisional yang perlu dikuantifikasi sehingga bisa diterima oleh dunia akademis. Maka, ketersediaan paket metode saintifik, alat-alat penunjang, dan pendampingan menjadi sangat penting. Tak kalah penting, hasil-hasil riset ini mesti diolah menjadi paket-paket pengetahuan baru sehingga bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siapa saja yang membutuhkan.

Kelima, komunitas perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Kolaborasi menjadi kunci penting agar gerakan yang diusung oleh komunitas menjadi kekuatan yang terus tumbuh membesar. Pihak-pihak yang perlu diajak bekerja sama meliputi instansi pemerintahan, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi non-pemerintahan, media, dan komunitas-komunitas lain yang mengusung gerakan senada.

Pihak-pihak di luar komunitas masyarakat bisa membantu dalam hal pendanaan, transfer paket-paket pengetahuan, teknologi penunjang yang bisa membantu riset maupun operasional bagi komunitas, maupun membuka jejaring. Pada konteks Jatimulyo, banyak pihak telah membantu pula dalam memasarkan produk dan jasa (ekowisata) yang ditawarkan oleh komunitas.

Keterlibatan perempuan
Saya merasa perlu menekankan aspek gender sebagai penutup tulisan singkat ini. Saya melihat keterlibatan kaum perempuan dalam gerakan-gerakan masyarakat memiliki arti yang sangat penting. Terlebih dalam bidang konservasi alam. 

Maskulinitas identik dengan persaingan, dominasi, eksploitasi, bahkan bisa berujung penindasan. Di sisi lain, feminitas adalah kedamaian, kasih, kebersamaan, dan kerjasama. Ideologi patriarki (maskulinitas) yang selama ini sangat mendominasi gerakan konservasi, tampaknya belum berhasil (kalau bukan gagal) meredam kerusakan lingkungan. 

Maka, alternatifnya adalah menyediakan ruang yang cukup bagi feminitas untuk masuk ke dalam gerakan konservasi. Dalam diskursus gender sekaligus konservasi alam dewasa ini, telah muncul apa yang disebut ekofeminisme yang menempatkan perempuan (dengan feminitasnya) sebagai poros utama gerakannya. Sayangnya, gerakan ini belum begitu populer.

Pada skala komunitas, strategi jangka pendek yang bisa diambil adalah dengan cara mendorong keterlibatan perempuan secara terstruktur dan terorganisir. Sesederhana memberikan ruang eksistensi dalam bidang-bidang yang identik gender perempuan seperti kuliner, keuangan, hospitality sebagaimana yang dilakukan Wanapaksi. Selanjutnya, secara bertahap mendorong transformasi yang lebih radikal dengan cara memberikan peran-peran yang lebih besar bagi kaum perempuan. 

Ke depan, perlu semakin banyak perempuan yang memegang posisi lebih strategis dan dalam skala yang lebih luas, terutama dalam proses pengambilan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan. Ingat, planet kita ini disebut-sebut sebagai ibu bumi, bukan bapak bumi.

Salam Lestari!

*Foto (Dok. KTH Wanapaksi):

1. KTH Wanapaksi hidupkan kembali kesenian rondha thek-thek

2. Pendidikan lingkungan bagi anak-anak menjadi salah satu fokus Wanapaksi

3. Kiprah kaum perempuan Wanapaksi

You Might Also Like

0 comments