Umbi gadung, pangan lokal, dan pemaknaannya
August 10, 2022Pangan menjadi penopang kehidupan manusia. Tanpa ketersediaan pangan, manusia tidak bisa melangsungkan kehidupannya. Pada beberapa kasus, pa...
Pangan menjadi penopang kehidupan manusia. Tanpa ketersediaan pangan, manusia tidak bisa melangsungkan kehidupannya. Pada beberapa kasus, pangan lokal menunjukkan kecerdasan masyarakat dalam mengolah potensi pangan di sekitarnya untuk bisa dikonsumsi. Misalnya, mengolah tumbuhan beracun menjadi makanan yang aman dikonsumsi. Bahkan, tidak hanya aman, tetapi juga lezat.
Di satu sudut hutan Jawa, tepatnya di Desa Mendolo, Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan, saya berjumpa dengan masyarakat yang mengolah pangan lokal unik. Umbi gadung namanya, atau nama latinnya Dioscorea hispida. Saya katakan unik karena umbi ini sejatinya beracun. Alih-alih bisa dikonsumsi langsung setelah melalui metode memasak yang lazim, umbi ini mesti mengalami proses yang cukup panjang untuk menetralisir racun yang terkandung di dalamnya yang terdiri dari sianida dan enzim dioscorin.
Pagi itu, saya bersama Mas Rohim dan Mas Budi menyusuri hutan di sekitar pedukuhan Sawahan untuk mencari umbi gadung. Tidak sulit menemukan tanaman gadung. Mereka bisa dikenali dari batangnya yang sebesar kelingking, berduri, merambat pada pepohonan hutan, dengan tiga helai daun dalam tiap cabang. Pada pangkal batang itulah kita bisa memanen umbinya yang ukurannya hampir sebesar kepala orang dewasa.
Batang dan daun Dioscorea hispida.
Kami mengambil seperlunya saja, memilih umbi-umbi yang terbaik lalu membawanya pulang ke kampung. Di bantu ibu-ibu di kampung, umbi ini lalu dikupas dan diiris tipis-tipis. Mereka tampak terampil sekali melakukan aktivitas ini. Maklum saja, setiap musim gadung tiba – yaitu pada puncak kemarau seperti sekarang ini, mayoritas ibu-ibu di pedukuhan ini mengolah gadung untuk dijadikan keripik.
Untuk menghasilkan keripik gadung yang aman dikonsumsi – yang racunnya telah dinetralisir, kira-kira membutuhkan sepuluh hari. Cuaca sangat menentukan, karena pengeringan menjadi bagian penting dalam proses pengolahan. Secara garis besar, proses pengolahan gadung menjadi keripik meliputi: pengupasan, pengirisan, pemberian abu dapur, pemeraman, penjemuran pertama, perendaman dan pencucian, pengukusan, dan penjemuran kedua.
Irisan-irisan tipis umbi gadung setelah dilumuri abu dapur, lalu diperam semalaman. Paginya, irisan gadung biasanya sudah tidak kaku. Itu tandanya sudah boleh dijemur. Penjemuran dilakukan sekira tiga hari, tergantung cuaca. Setelah kering lalu direndam dalam air mengalir. Bisa sampai tiga hari lagi. Setelah benar-benar bersih dari abu, irisan gadung lalu diberi bumbu, lalu dikukus. Umbi gadung pada fase ini biasanya sudah aman untuk dimakan. Esok harinya, irisan umbi hasil kukus ini dijemur. Kira-kira butuh waktu tiga atau empat hari sampai benar-benar kering.
Di kesempatan lain, saya berbincang dengan Bu Tainah, Bu Sutri, dan Bu Situ. Sore itu di halaman belakang rumah salah satu warga, mereka sedang mengiris sekira 10 kg umbi gadung yang baru saja mereka ambil dari hutan. Biasanya, proses pengupasan, pengirisan, sampai pencucian, mereka kerjakan secara bersama-sama tiga atau empat orang. Namun, untuk proses selanjutnya bisa dilakukan di rumah masing-masing.
Penjemuran irisan gadung setelah diperam menggunakan abu dapur.
Proses yang cukup rumit dan memakan waktu tidak menyurutkan semangat ibu-ibu di Sawahan. Bahkan, ketika harga jualnya pun seakan tidak setara dengan proses yang dijalani. Satu kilogram keripik siap goreng rata-rata dihargai Rp. 30.000,-. Karena keterbatasan lahan penjemuran, mereka tidak setiap hari memproses gadung. “Kami membuat keripik karena suka saja. Yang utama buat mencukupi kebutuhan sendiri. Kalau lumayan banyak, baru dijual,” kata Bu Tainah.
Saya juga menemui Mbah Mali, sesepuh pedukuhan Sawahan. Seingat beliau, pengolahan gadung menjadi keripik ini telah dimulai sejak tahun 1950-an. Pada waktu itu, ada orang-orang dari daerah lain yang mengambil gadung dari Sawahan untuk dibuat keripik. Dari merekalah, masyarakat Sawahan mendapatkan keahlian mengolah gadung menjadi keripik.
Pengolahan gadung menjadi keripik memang baru mulai pada era kemerdekaan. Namun, bukan berarti sebelumnya tidak dimanfaatkan. Gadung sudah dikonsumsi sejak sebelumnya dengan bentuk olahan lain. Pada masa perang, para warga desa mengalami krisis pangan. Mereka mengolah gadung secara sederhana, sekadar menghilangkan racunnya. Umbi dikupas, diiris tipis, direndam, lalu dikukus untuk dijadikan makanan pokok sumber karbohidrat. “Masa-masa kurang pangan, makan ya seadanya yang bisa dijumpai di hutan,” kenang Mbah Mali.
Pada masa itu, masyarakat memanfaatkan umbi-umbian maupun buah-buahan hutan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Sampai saat ini pun, masyarakat masih familiar dengan aneka pangan alternatif seperti umbi werung, katak, ilus, dan suweg. Umbi-umbian tersebut sesekali masih dikonsumsi warga sebagai pangan tambahan.
Pangan tidak sesederhana bicara suatu bahan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi kita. Dalam buku berjudul Pembangunan Pertanian: Membangun Ideologi Pangan Nasional karya Prof Triwibowo Yuwono, saya mencatat bahwa pangan bisa dipandang sebagai: entitas ekonomi, simbol budaya, dan entitas pertahanan.
Sebagai entitas ekonomi maksudnya adalah pangan merupakan komoditi yang bisa diperjualbelikan dan turut membangun perekonomian bangsa. Dalam konteks budaya, saya melihat bahwa pengolahan gadung di Mendolo ini bisa dianggap sebagai rekaman cerita pengelolaan pangan mulai dari masa lalu hingga saat ini yang terus berdinamika seiring perkembangan jaman. Olahan keripik gadung tentu bisa dijumpai di daerah lain. Namun, setiap daerah punya metode pengolahan dan, lebih jauh ke belakang, punya sejarahnya sendiri-sendiri.
Mas Budi "Kampleng" menunjukkan umbi werung yang baru saja dipanennya.
Dalam konteks pertahanan, sumber-sumber pangan yang tersimpan di hutan bisa menjadi cadangan makanan pada saat terjadi krisis seperti (maaf) bencana alam atau perang. Hal ini sudah dibuktikan oleh masyarakat Mendolo. Gadung dan umbi-umbian lainnya terbukti mampu menjadi “penyambung hidup” bagi masyarakat pada masa perang, lebih dari tujuh dasawarsa yang lalu. Jenis-jenis umbi lokal sangat ideal untuk cadangan pangan bagi masyarakat hutan sebab relatif mudah hidup di bawah tegakan dan sangat minim perawatan.
Karena bukan sekadar komoditi ekonomi, melainkan juga sebagai simbol budaya masyarakat dan secara strategis menjadi penopang pertahanan bangsa; hendaknya pangan menjadi perhatian kita bersama sebagai satu bangsa. Saya prihatin ketika mendengar bahwa banyak varietas padi lokal yang punah, atau umbi-umbian yang kini semakin susah dicari.
Sebagai bangsa yang hidup di tropis, kita dikaruniai beranekaragam jenis bahan pangan. Variasi sumber pangan ini mestinya bisa membuat kita lebih sehat dan kuat. Kita bisa menemukan jati diri sebagai bangsa tropis ketika kita mampu merawat dan mengapresiasi aneka pangan lokal yang telah disediakan alam.
-SH
*Bahan artikel ini diambil dalam rangkaian kunjungan lapangan site kegiatan Swaraowa.