Nini tumbu dan etika yang memerdekakan

Nini Tumbu Hari ini, tanggal 17 Agustus, merupakan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Tepat pada 78 tahun yang lalu, Ir. Soekar...

Nini Tumbu

Hari ini, tanggal 17 Agustus, merupakan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Tepat pada 78 tahun yang lalu, Ir. Soekarno didampingi Drs. Mohammad Hatta membacakan naskah proklamasi kemerdekaan yang menandai bebasnya bangsa kita dari belenggu penjajahan bangsa lain.

”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” demikian kalimat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang mencerminkan pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia berupa kebebasan atau kemerdekaan kepada setiap bangsa.

Perjuangan masyarakat dunia dalam mewujudkan pengakuan Hak Asasi Manusia sendiri mengalami perjalanan panjang selama ratusan tahun, semenjak Piagam Magna Carta di Inggris (1215) hingga akhirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 1948. Meskipun pada tataran praktiknya saat ini belum sempurna, namun deklarasi hak asasi manusia merupakan lompatan besar bagi sejarah peradaban manusia.

Pertanyaan selanjutnya adalah, setelah semua manusia di muka bumi mendapatkan jaminan hak asasi berupa hak hidup, kebebasan, maupun kemerdekaan; bagaimana dengan nasib makhluk hidup lain di luar manusia? Apakah mereka pada suatu saat nanti juga akan mendapatkan sebuah pengakuan hak asasi?

Gagasan mengenai hak asasi bagi hewan, tumbuhan, atau bahkan benda-benda abiotik bukanlah tanpa latar belakang yang kuat. Hal ini terkait dengan perilaku manusia yang semakin mendominasi alam, termasuk spesies-spesies hewan dan tumbuhan yang dalam perkembangannya dianggap sekadar sebagai instrumen untuk memenuhi keserakahan manusia.

Paul Taylor, salah satu tokoh etika biosentrisme, mengusulkan untuk menempatkan semua makhluk hidup secara setara. Semua bentuk kehidupan memiliki tujuannya masing-masing. Maka layak diperlakukan secara sama. Puncak dari perjuangan biosentrisme nantinya adalah deklarasi pengakuan Hak-hak Binatang dan Hak-hak Alam. Sebuah gagasan yang mungkin terdengar absurd. Namun, perlu diketahui bahwa gagasan Hak Asasi Manusia di era perbudakan pun juga sesuatu yang dianggap absurd oleh orang-orang pada masa itu.

Untuk memudahkan pemahaman, kita perlu memahami konsep subjek moral (moral subjects) dan pelaku moral (moral agents). Semua organisme hidup, bagi pengikut biosentrisme, adalah subjek moral yang mesti dihormati dan dihargai. Manusia, sebagai spesies yang memiliki kecerdasan tinggi dan memiliki kesadaran (consciousness) sejauh ini dianggap sebagai satu-satunya pelaku moral. Sebagai pelaku moral, maka manusia dituntut untuk tidak melukai, membunuh, ataupun mengusik makhluk hidup lain.

Penggagas deep ecology, Arne Naess, mengistilahkan 'egaliterianisme biosfer'. Maknanya kurang lebih sama yakni memposisikan semua makhluk yang tersebar di alam raya ini setara. All living being have intrinsic value. Setiap makhluk hidup memiliki nilai pada dirinya sendiri, sehingga mesti kita hormati keberadaannya.

Tidak hanya berlaku pada hewan ataupun tumbuhan, etika ini juga berlaku untuk sungai, gunung, bebatuan, dan ekosistem secara luas. Semuanya dihormati dan jangan pernah dirusak. Bukan berarti manusia tidak diperbolehkan memanfaatkan. Menurut Naess, manusia memanfaatkan seperlunya saja untuk keberlanjutan hidup. Inilah salah satu prinsip dasar deep ecology. Sifatnya ekosentris, menempatkan kepentingan ekosistem luas di atas kepentingan manusia.

Dalam paradigma ekologi modern, manusia dianggap bagian dari ekosistem itu sendiri. Fritjof Capra dalam buku The Web of Life mengusulkan prinsip-prinsip kehidupan yang perlu kita pahami: interdependensi (saling keterkaitan antara komponen ekosistem), daur ulang (ada siklus energi), kemitraan (saling kerja sama antar makhluk), fleksibilitas (resiliensi), dan keanekaragaman. Capra menyodorkan gagasan masyarakat berkelanjutan, yaitu masyarakat melek ekologi dan menjalani kehidupan selaras dengan prinsip dan hukum alam. Memerdekakan makhluk hidup di luar manusia merupakan bagian dari jalan hidup berkelanjutan.

Brayan urip: biosentrisme ala masyarakat Nusantara?

Di Desa Mendolo, Kabupaten Pekalongan, salah satu desa hutan di Pegunungan Dieng bagian utara yang masyarakatnya masih sangat dekat dengan hutan, saya mendengar konsep ‘brayan urip’. Berasal dari kata brayan: rumah tangga, dan urip: hidup. Kira-kira arti harafiahnya hidup berumah tangga, atau hidup bersama-sama. Istilah brayan urip ini tidak hanya digunakan untuk kehidupan berumah tangga (berkeluarga bagi manusia), namun digunakan secara luas baik dalam hubungan sosial bermasyarakat sesama manusia, maupun hubungan dengan alam.

Pada konteks luas, brayan urip bisa diartikan hidup bersama, berbagi dengan sesama makhluk hidup di dalam ruang hidup yang sama. Sekali lagi, tidak hanya kepada sesama manusia, namun kepada semua makhluk dalam jagad raya ini. Sebagai sebuah etika, brayan urip mengajarkan manusia untuk menghargai, menghormati makhluk hidup lain baik itu pohon-pohon, binatang-binatang, atau bahkan benda-benda abiotik. 

Di Mendolo, kita masih bisa menjumpai pohon-pohon besar seperti kayu babi, kayu sapi, sarangan, bendo, pucung/keluwek, terutama di bantaran sungai atau alur-alur kecil. Pohon-pohon berukuran raksasa itu memang sengaja dibiarkan hidup karena sudah dianggap sebagai brayan urip tadi. 

Saya jadi ingat beberapa waktu lalu berbincang dengan kawan-kawan Mendolo tentang laba-laba 'nini tumbu'. Laba-laba dari Marga Gasteracantha ini sangat umum dijumpai di hutan dan kebun. Mereka yang bisa dikenali dari punggungnya bergerigi itu membangun jaring di antara pepohonan. Saking akrabnya masyarakat dengan si laba-laba ini, dijadikanlah ia sebagai inspirasi cerita dongeng. 

Kita bisa menemukan banyak sekali cerita, dongeng, tetembangan yang mengambil inspirasi dari hewan dan tumbuhan yang berkembang di masyarakat. Hal itu membuktikan bahwa nenek moyang kita sangat dekat dengan alam, dan memposisikan alam sebagai mitra dalam menjalani kehidupan. Praktik wanatani agroforestri ala masyarakat perdesaan sudah cukup kuat untuk membuktikanya. (Baca tulisan saya tentang agroforestri).

Para petani hutan Mendolo (dan saya yakin juga di banyak tempat lain) menempatkan banyak spesies hewan dan tumbuhan hutan sebagai makhluk brayan urip. Makhluk-makhluk itu dimerdekakan, dihormati, dihargai, atau minimal tidak diusik. Lalu apa manfaatnya? Di sinilah letaknya wisdom (kearifan). Tak perlu mempertanyakan manfaatnya apa, karena semua pernghargaan itu muncul begitu saja dari dalam diri. Karena welas asih, atau adanya keyakinan bahwa binatang atau tumbuhan juga bisa merasakan sakit jika dilukai, misalnya.

Saya yakin bahwa konsepsi brayan urip (atau yang sejenisnya) ini merupakan etika masyarakat Nusantara yang sudah muncul jauh sebelum gagasan biosentrisme maupun ekosentrisme modern. Barangkali, brayan urip ini merupakan bentuk adaptasi hidup dalam keanekaragaman hayati yang tinggi dan adanya kesadaran mengenai kehidupan yang saling berkaitan satu sama lain (interkoneksi).

Brayan urip sebagai produk wisdom masyarakat Nusantara dan masih dipraktikkan oleh sebagian masyarakat di perdesaan perlu digali kembali dan dikembangkan sebagai panduan hidup berkelanjutan sebagaimana yang juga digagas Capra. Sekali lagi, wisdom bukan untuk dipertanyakan nilai instrumentalnya, cukup dihayati dan diejawantahkan dalam praktik kehidupan. 

Satu lagi, bangsa kita ternyata telah menawarkan konsep kemerdekaan yang sangat canggih sejak lama. Merdeka!

-SH

You Might Also Like

0 comments