Menabur benih 'desa ramah burung'
December 31, 2021Semua orang tentu familiar dengan burung. Di mana-mana kita bisa menjumpainya. Di hutan, di sawah, di pantai, hingga di permukiman burung bi...
Semua orang tentu familiar dengan burung. Di mana-mana kita bisa menjumpainya. Di hutan, di sawah, di pantai, hingga di permukiman burung bisa dijumpai. Burung adalah kelompok binatang bertulang belakang yang ciri utamanya adalah tubuhnya dilengkapi bulu dan sayap. Dalam taksonomi, mereka termasuk dalam golongan Aves. Jumlah jenisnya kurang lebih 11.000 di seluruh dunia, sedangkan Indonesia menyumbang nyaris 1.800 jenis.
Burung memegang peran yang penting bagi keseimbangan ekosistem. Secara sederhana, peran itu bisa digambarkan dari jenis makanannya. Burung pemakan biji bisa membantu proses pemencaran biji (seed dispersal). Burung pemakan nektar berpotensi membantu penyerbukan bebungaan. Burung pemakan serangga bisa mengontrol populasi serangga sehingga populasinya tidak meledak menjadi hama. Sebagai predator, burung pemakan daging menjaga keseimbangan rantai makanan di dalam ekosistem.
Penembakan burung liar untuk sekadar bersenang-senang, burung-burung yang berjejalan mengisi kurungan-kurungan di pasar hewan, atau burung-burung yang tersingkir karena kehilangan habitat adalah potret-potret menyedihkan nasib burung di negeri kita tercinta. Populasinya terus menurun, banyak jenis yang akhirnya punah. Burung menjadi salah satu kelompok fauna yang paling terancam. Padahal, kepunahan burung berimplikasi ancaman bagi keseluruhan ekosistem di bumi ini.
Pemerintah telah menerbitkan berbagai aturan mengenai perburuan, perdagangan, hingga pemeliharaan burung. Juga mengatur penggunaan senapan angin yang biasanya digunakan tangan-tangan jahil untuk membunuh makhluk-makhluk mungil yang tak berdosa itu. Banyak pula program-program dari lembaga nonpemerintah dalam rangka pelestarian burung. Namun, tetap saja nasib burung-burung itu belum bertambah baik.
Konsep “Desa Ramah Burung” yang diterapkan di Jatimulyo memberikan sedikit angin segar bagi upaya pelestarian alam di Indonesia, khususnya burung. (Cerita mengenai bergulirnya gagasan desa ramah burung di Jatimulyo ada di tautan berikut ini). Berawal dari Peraturan Desa (Perdes), Jatimulyo berhasil menekan angka perburuan burung di wilayahnya. Perlindungan burung ala Jatimulyo ini adalah sebuah gerakan akar rumput, dimotori oleh masyarakat desa itu sendiri. Desa ramah burung menjadi sebuah tawaran segar untuk melengkapi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga nonpemerintah yang dirasa belum efektif membendung laju kepunahan burung-burung di alam.
Saya optimistis bahwa setiap desa bisa mengembangkan sendiri-sendiri konsep desa ramah burung; disesuaikan dengan kondisi geografis, sosial-budaya, ekonomi, dan politik desa setempat. Imam Taufiqurrahman, dalam tulisannya berjudul Tiga Payung Pengusung ‘Desa Ramah Burung’ (Tautan artikel), menyebutkan bahwa ada tiga prasyarat utama untuk berkembangnya sebuah desa ramah burung: (1) desa itu punya kekayaan jenis burung dan dikenali dengan baik oleh masyarakatnya, (2) adanya kesepakatan bersama untuk melestarikan burung-burung dan habitatnya di alam, dan (3) adanya upaya pemanfaatan lanjutan secara lestari atas burung dan upaya pelestariannya.
Berbicara tentang kekayaan jenis burung pada masing-masing desa tentu saja sifatnya relatif. Tidak bisa kita membandingkan kekayaan jenis burung di desa yang dikelilingi hutan hujan tropis dengan kekayaan burung di desa pesisir, atau desa agraris yang dikelilingi sawah ladang. Komposisi dan kekayaan jenis burung menyesuaikan dengan kecocokan habitat dan aspek-aspek ekologis lainnya yang memengaruhi distribusi/sebaran jenis-jenis burung. Intinya justru pada pengenalan masyarakat desa mengenai kekayaan burung yang mereka miliki.
Mengenai kesepakatan atau komitmen masyarakat untuk melestarikan burung beserta habitatnya juga menyesuaikan dengan kebutuhan. Perdes seperti yang dibuat oleh Jatimulyo menjadi jenis kesepakatan yang ideal, karena memiliki kekuatan hukum. Bentuk-bentuk kesepakatan lainnya, bisa digunakan menurut kebutuhan dan situasi masing-masing desa.
Kemudian berkaitan dengan pemanfaatan burung di alam secara lestari, cakupannya sangat luas. Pemanfaatan ini bisa bersifat ekonomi, seperti kegiatan wisata pengamatan burung, atau program adopsi sarang yang dilakukan di Jatimulyo. Di sebuah tempat di lereng Gunung Merapi, masyarakat di Cancangan membuatkan rumah bagi burung serak jawa Tyto alba dalam rangka pengendalian populasi tikus yang mengganggu sawah-sawah mereka. Ini termasuk pemanfaatan jasa ekologi.
Bisa juga pemanfaatan secara budaya, misalnya mengambil inspirasi dari burung dalam menciptakan kreasi seni. Saya pernah menemukan sebuah video tarian dari daerah Banyuasin, Sumatera Selatan yang mengambil inspirasi dari burung-burung migran yang banyak dijumpai di sana. Bahkan, ketika masyarakat desa menikmati menyaksikan dan menikmati kicauan burung liar di alam tanpa ada keinginan untuk menangkapnya, itupun bisa dikatakan pemanfaatan. Saya menyebutnya pemanfaatan secara spiritual.
Pada dasarnya, ada empat ancaman utama terhadap kelangsungan spesies: eksploitasi berlebihan, kehilangan habitat, masuknya jenis invasif, dan perubahan iklim. Ancaman bagi kelangsungan hidup burung di alam yang paling populer di Indonesia barangkali adalah perburuan sehingga masuk dalam kategori pertama tadi.
Dalam upaya mewujudkan kelestarian burung, permasalahan perburuan memang perlu mendapat prioritas di awal. Menghentikan perburuan tidak sekadar melarang, tetapi juga diselesaikan akar penyebabnya. Perburuan burung bisa muncul karena motivasi ekonomi ataupun hobi. Untuk mengatasi perburuan bermotif ekonomi, desa dengan kewenangan yang dimilikinya mestinya mampu memunculkan dan menciptakan alternatif-alternatif ekonomi pengganti. Untuk perburuan dengan motivasi hobi, butuh strategi lain lagi, melalui pendekatan budaya misalnya.
Pada konteks Jatimulyo, saya berani mengatakan bahwa pencapaian desa ini dalam mengusung gagasan desa ramah burung saat ini masih dalam tahap “membuka pintu gerbang”. Baru permulaan dari sebuah perjuangan panjang. Bahwa angka perburuan burung sudah dapat diturunkan sampai level minimum, memang patut diacungi jempol. Akan tetapi, hal itu bukanlah tujuan akhir. Jatimulyo masih harus terus berproses, mengonsolidasi segenap kekuatan internal mereka dan mengelola dukungan eksternal dengan baik untuk mencapai kondisi yang paling ideal bagi gagasan ramah burung itu sendiri.
Desa ramah burung yang ideal menuntut segala sendi kehidupan di dalam desa itu haruslah menjamin kelestarian dan kesejahteraan burung di habitat alaminya. Untuk itu, mengelola sebuah desa yang ramah burung memerlukan kerja kolaboratif. Multipihak, juga multisektor. Setiap elemen di internal desa perlu diberdayakan, mengambil peran masing-masing. Dukungan pihak luar juga perlu dikelola. Siapa yang berperan dalam patroli pengamanan, siapa berperan dalam kerja-kerja ilmiah seperti pendataan dan monitoring, siapa mengembangkan pertanian yang ramah burung, siapa mengembangkan budaya yang mengambil inspirasi dari burung, siapa melakukan pendidikan kepada masyarakat mengenai arti penting burung, siapa mengembangkan bisnis lestari berbasis burung, dan lain sebagainya. Lalu, peran-peran itu harus dibuat sinergis satu sama lain.
Satu lagi, pemahaman yang justru paling penting adalah bahwa desa ramah burung haruslah dimaknai sebagai awal sebuah tujuan yang lebih besar. Burung tidak mengenal batas-batas administratif. Mereka tidak ber-KTP sehingga bebas terbang, tidur, bersarang di mana saja. Di wilayah desa di mana burung-burung dilindungi, mereka aman. Namun, saat mereka terbang ke wilayah desa di sebelahnya yang belum memiliki kesadaran melindungi, keselamatan mereka tidak lagi terjamin. Untuk itu, konsep desa ramah burung ini selanjutnya perlu direplikasi ke desa-desa tetangga. Begitu seterusnya, semakin meluas sehingga semakin banyak desa-desa yang mengadopsi konsep ramah burung.
Jika semua desa yang berdekatan telah sepenuhnya mengadopsi konsep ramah burung maka tercipta lanskap ramah burung. Pada saat kondisi ini tercapai, tingkat perburuan burung secara otomatis turun. Burung bisa hidup bebas dengan dukungan habitat yang layak. Dengan kata lain, pelestarian pada tingkatan lanskap inilah yang bisa menjamin kelestarian burung-burung di alam pada tataran ideal.
Ke depan, ancaman-ancaman lain bagi kelestarian burung, seperti yang telah disebutkan di atas, juga perlu mendapatkan perhatian. Desa bisa terus memunculkan inovasi-inovasi dalam merespon. Jadi, tidak akan ada kata “istirahat” apa lagi “selesai” untuk sebuah desa ramah burung. Ia akan terus berdinamika menjawab tantangan-tantangan baru. Bicara burung berarti bicara alam dan ekosistem secara luas. Bicara juga tentang ekonomi, sosial, budaya, literasi, hingga politik. Ekstrimnya, pengembangan gagasan desa ramah burung ini nyaris tak terbatas.
Saya malah ingin mengatakan bahwa “desa ramah burung” bukanlah sebuah status yang disematkan, melainkan sebuah metode untuk melakukan pengelolaan. Paradigma ini penting untuk menghindari jebakan kenyamanan atas sebuah status saja. Saya pribadi meyakini bahwa gagasan desa ramah burung bisa menjadi pendekatan yang paling relevan dalam membumikan konservasi dan menggugah kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian burung di alam. Setidaknya sebelum ada tawaran lain yang lebih baik.
Lalu, apa yang perlu dilakukan? Saat-saat ini, strategi yang bisa ditempuh adalah "menabur benih" wacana desa ramah burung ini ke sebanyak mungkin desa-desa di Indonesia. Gagasan desa ramah burung dengan tiga payung pengusung tadi saya kira sudah saatnya untuk disemaikan di Bumi Nusantara. Biarkan benih-benih itu tumbuh secara alami, menjadi gerakan yang cukup masif dan memberikan dampak yang luas.
Siapa yang melakukan? Siapapun boleh. Para pengamat burung, peran mereka telah teruji di Jatimulyo, misalnya. Instansi pemerintahan, akademisi, para aktivis di lembaga nonpemerintah, aktivis penggerak desa. Siapapun bisa menjadi seed dispersal agent desa ramah burung.
Salatiga, 31 Desember 2021 - 23.00
-SH-
*Foto: JBW Jatimulyo 2009