Banyak kucing di Kuching?
September 28, 2023Sungai Sarawak dari atas Jembatan Darul Hana Waktu SD, mungkin sekitar kelas V, saya sering banget membuka Peta Atlas Dunia. Selalu tergelit...
Waktu SD, mungkin sekitar kelas V, saya sering banget membuka Peta Atlas Dunia. Selalu tergelitik dengan nama-nama kota yang unik, seperti Lima - ibu kotanya Peru, atau yang lokal ada Palu, nama kota di Sulawesi. Dan, tentu saja, Kuching di Sarawak, Malaysia!
Karena saya lumayan suka dengan kucing, saya jadi bertakon-takon, kenapa kota di Sarawak itu dinamai Kuching? Apa karena banyak kucing di kota itu? Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu menggelitik. Lalu pertanyaan-pertanyaan itu menguap sendiri seiring berjalannya waktu.
Hingga pada suatu hari di pertengahan bulan kemarin, menjelang tengah malam, saya telah mendarat di salah satu kota yang mengusik pikiran masa kecilku. Welcome to Kuching! Saya menjadi bersemangat kembali untuk menemukan jawaban atas pertanyaan masa kecilku itu.
Seminggu berada di Kuching untuk acara International Primate Society (IPS) Congress bersama kawan-kawan Swaraowa. Di sela-sela agenda, saya berkesempatan mengunjungi destinasi-destinasi menarik di kota ini, mencicipi kuliner-kuliner khasnya, dan merasakan berbagai pengalaman baru.
Kuching adalah kota yang cukup tertata, begitu kesan saya. Jalan-jalan cukup lebar dan mobil-mobil yang lalu lalang relatif tertib meskipun kecepatannya lumayan tinggi terutama di jalan-jalan besarnya. Tak banyak motor di sini, berbeda sekali dengan kota-kota di negara kita.
Satu hal yang menarik perhatian adalah jarang sekali terdengar suara klakson di jalanan. Selama seminggu di Kuching, saya hanya mendengar empat atau lima kali bunyi klakson kendaraan. Beberapa persimpangan memiliki lampu yang merahnya lumayan lama. Namun, para driver tampak sabar dan tertib menunggu sampai lampu hijau menyala.
Merk mobil yang paling banyak adalah Perodua. Ini adalah merk lokal dari Daihatsu. Ada kembaran Agya, Rocky, Ceria, dll. Kembaran Sirion juga cukup sering terlihat. Konon, mobil ini salah satu favorit di Malaysia. Ada yang sekilas mirip Suzuki Karimun, namanya Perodua Kenari. Mobil-mobil lain yang sering berseliweran adalah double cabin: Triton, Hilux, Dmax, dan Navara.
Untuk transportasi umum, Grab dan Maxim menjadi dua penyedia taksi online yang populer di sini. Moda transportasi ini sangat bisa diandalkan. Populasinya banyak dan tersedia sampai larut malam. Bis juga tersedia, namun saya tak sempat mencobanya.
Waterfront jadi destinasi yang banyak dikunjungi pelancong. Ada Jembatan Darul Hana, jembatan khusus pejalan kaki yang memotong Sungai Sarawak buat pejalan kaki. Di sekitarnya banyak bangunan heritage. Area ini memang menarik sekali untuk dijelajahi.
Ada satu penanda yang sangat mencolok saat berada di Waterfront yaitu bendera raksasa yang berkibar di ujung tiang raksasa. Usut punya usut, inilah tiang bendera tertinggi di Asia Tenggara. Terletak di sebelah gedung Dewan Undangan Negeri, tiang ini tingginya mencapai 99 meter.
Toko-toko sudah tutup jam empat sore. Beberapa toko swalayan buka sampai jam 22.00 WK (Waktu Kuching – satu jam lebih cepat dari WIB)). Ada yang 24 jam, tapi jarang. Apalagi di kawasan pinggiran. Begitu pula warung makan, lumayan susah cari warung makan yang buka sampai malam.
Terkait dengan nama Kuching sendiri, ternyata ada beberapa teori. Pertama, sebagian masyarakat Kuching meyakini bahwa itu diambil dari kata “Cochin”, sebuah pelabuhan perdagangan di Pantai Malabar. Kedua, berasal dari nama sungai kecil, Sungai Kuching yang melintasi kota ini. Nah, tapi masih bisa dikejar lagi, kenapa dinamai Sungai Kuching? Ketiga, ada pula yang bilang Kuching berasal dari nama hewan kucing (pusak, dalam nama lokal).
Anyway, patung kucing bisa dijumpai di mana-mana. Di tugu persimpangan, di depan bangunan-bangunan, atau pintu-pintu gang. Ada juga yang dibuat gambar kucing dalam bentuk mural. Bahkan ada Cat Museum juga, lho. Jadi, kucing memang telah menjadi ciri khas Kuching itu sendiri.
Lalu, bagaimana dengan kucing beneran? Saya cuma ketemu dua ekor selama di sana.