The ecology of the 'pawon'

Sebagian dari para pembaca tentu familiar dengan kata “pawon”. Istilah pawon dalam bahasa jawa merujuk pada dapur. Saya tidak tahu apakah ad...


Sebagian dari para pembaca tentu familiar dengan kata “pawon”. Istilah pawon dalam bahasa jawa merujuk pada dapur. Saya tidak tahu apakah ada sebutan yang sama dalam bahasa lain. Secara tradisional, pawon dicirikan dengan adanya tungku bakar untuk memasak. Ada juga yang bilang kata pawon berhubungan dengan kata paawuan, dari kata dasar “awu”, artinya abu sisa pembakaran kayu.

Masa kecil saya cukup akrab dengan pawon. Nenek memasak menggunakan tungku kayu di pawon. Saat udara dingin, kami menghangatkan diri di depan tungku. Saya juga ingat, seekor kucing kecil sering tidur di depan tungku itu. Tentu tertarik dengan kehangatannya. Si kucing biasanya cemong-cemong belepotan abu dan arang.

Saat usia dua puluhan, saya suka menjelajah desa-desa, hingga punya banyak keluarga yang menampung saya tinggal dalam waktu cukup lama. Ini mungkin terdengar aneh, tapi begitulah pengalaman saya. Di beberapa keluarga itu, tempat favorit saya untuk menghabiskan waktu adalah pawon. Mulai dari berbincang dengan orang-orang, makan, hingga tidur pun tak jarang di pawon. Tempat ini juga nyaman untuk menyalurkan bakat saya di bidang melamun.

Karena pengalaman personal yang cukup intens dengan pawon, saya pernah bercita-cita untuk punya rumah dengan pawon sebagai ruang utama. Tempat berkumpul, menerima tamu, kerja, dan terus mengasah bakat melamun saya. Tentu cita-cita itu belum tercapai hingga detik ini.

Oh ya, saya akhirnya menulis artikel ini juga hasil dari lamunan. Bukan di pawon, sih. Lamunan saya itu membawa saya pada sebuah “aha moment”. Sik, ini sangat jauh dari level gedankenexperiment (eksperimen pikiran) Einstein saat menemukan teori relativitas, btw. Hasil lamunan saya itu (yang lalu dirumuskan dengan bantuan Gemini) kurang lebih seperti ini:

Pawon itu seperti jembatan penghubung. Sebuah pawon/dapur adalah koridor yang mempertemukan dua ekosistem. Di satu sisi adalah ekosistem kecil dalam sistem pencernaan kita sendiri -- tempat setidaknya 40 triliun mikrobia hidup dengan interaksi rumitnya, dan di sisi lain adalah ekosistem besar juga dengan ragam kehidupannya. Apa-apa yang terjadi di pawon, bisa berdampak pada kedua sisi ekosistem tersebut. 

Satu kehidupan melanjutkan kehidupannya dengan cara mengambil kehidupan-kehidupan yang lain. Berapa banyak kehidupan yang kita ambil lewat dapur-dapur kita untuk 2000 kkal (atau seringkali lebih) asupan tubuh kita setiap hari? Dalam bentuk batang-batang jerami padi yang ditebas, telur-telur ayam yang tak jadi menetas, atau biji-biji cabe yang urung bertunas. Bukankah kehidupan-kehidupan itu sangat-sangat layak mendapatkan penghormatan? 

Barangkali sudah sampai di sanalah kesadaran orang tua-orang tua kita dahulu. Pawon ditempatkan dalam posisi yang sakral. Ada adab dan etiket yang ketat, bahkan sejak sebelum pawon itu sendiri dibangun. Demikian pula dalam keseharian, ada berbagai aturan saat mengolah dan menyajikan aneka makanan untuk keluarga. 

Ada hal lain yang membuat pawon sesakral itu. Kalau merunut pada sejarah perkembangan peradaban manusia, pawon atau bentuk yang lebih primitifnya, perapian, adalah sebenar-benarnya tempat melamun. Adanya waktu-waktu melamun itulah salah satu kunci dari lompatan kognitif para pemburu pengumpul. Mereka mulai mengabstraksikan berbagai hal, mulai dari sekadar membayangkan "besok makan apa?", atau "bagaimana ya agar bisa menangkap seekor antelop?" Lamunan-lamunan yang menghasilkan langkah-langkah kecil menuju peradaban yang semakin kompleks. 

Kini, pawon-pawon dengan tungku tradisional memang sudah banyak tergantikan dengan dapur modern yang dilengkapi kompor gas atau listrik. Namun, melalui pemahaman modern yang sarat akan rasionalitas, penghargaan terhadap dapur dan pangan yang diolah di dalamnya tetap relevan. Semesta kecil dalam tubuh kita maupun semesta besar tempat kita tinggal dan beranak-pinak membutuhkan dapur yang digunakan secara bertanggung jawab untuk kesehatan maupun kelestarian keduanya. Sebuah dapur yang selaras dengan hukum alam.

Kita bisa berpartisipasi dalam menciptakan dunia yang lebih baik dari dapur-dapur kita. Memilih bahan pangan yang seimbang dan menyehatkan tubuh, serta disediakan dengan cara-cara yang tidak terlalu mengacaukan keseimbangan ekosistem. Di dapur, kita bisa terus memberi kesempatan gen-gen melamun untuk menuntun kita mengimajinasikan peradaban yang lebih nyaman untuk semua. Dimulai dari memikirkan aneka makanan sehat yang mengisi piring-piring kita hari ini, esok, dan seterusnya. Selamat Hari Pangan Sedunia!

-SH

You Might Also Like

0 comments