Ke Kayong lagi..

Sewaktu ke Kayong Utara pertama kali, tahun 2016, saya berdoa semoga ada kesempatan kembali ke sana. Saya suka sekali dengan kabupaten yang ...


Sewaktu ke Kayong Utara pertama kali, tahun 2016, saya berdoa semoga ada kesempatan kembali ke sana. Saya suka sekali dengan kabupaten yang terbilang masih muda ini. Baik itu alamnya, suasananya, maupun orang-orangnya. Satu lagi, kelulutnya yang begitu menggoda.

Menjelang akhir tahun kemarin, doa saya terkabul. Saya kembali ke Kayong, meskipun hanya sebentar saja. Rute perjalanan dari Yogya ke Pontianak, menginap satu malam di Ponti, lalu hari berikutnya terbang lagi ke Ketapang. Dari Ketapang lanjut perjalanan darat ke Kayong. 

Banyak perubahan, paling mencolok ialah jalanannya yang tambah ramai. Sayangnya, jalan Siduk – Sukadana rusak lumayan parah. Jalanan tanah berdebu dan banyak lubang-lubang. Sangat berbeda dengan dulu tahun 2016. Mungkin waktu itu jalanan bagus karena ada Sail Karimata, hehe.

Saya dan rombongan singgah di penginapan Paoh. Lokasinya di Jalan Lingkar Luar, Sukadana. Penginapan ini dilengkapi resto dan ada kolam renang umum di sini. Lingkungan di sekitarnya masih asri. Masih terlihat monyet-monyet kelasi di sekitar penginapan. Kelasi ialah jenis lutung berwarna merah kecoklatan. Suaranya memiliki nada yang terdengar lebih berat ketimbang lutung jawa.

Saya juga dibuat takjub saat menjumpai empat jenis kelulut sama-sama bersarang di pondasi yang ukurannya hanya kira-kira tiga kali satu meter: Heterotrigona itama, Tetragonula drescheri (2 koloni), Tetragonula cf. irridipennis, dan T. laeviceps. Sungguh kaya memang.

Sore harinya, kami menghabiskan waktu di Pantai Pulau Datok. Menjelang malam, kami makan di Resto Bakau. Menunya istimewa nan membuat tambah nasi: gulai tempoyak ikan kakap. Minumnya es timun serut. Hari pertama di Sukadana yang menyenangkan dan menggemukkan.

Belajar wanatani

Di Desa Penjalaan, kami melihat para pengolah kopi robusta. Tanaman kopi tidak tampak dominan. Kalau tidak jeli mengamati, kita sangat mungkin melawatkannya. Namun, di desa ini kopi sudah melekat dalam budaya masyarakatnya.

Kopi menjadi minuman wajib sehari-hari. Kopi juga digunakan dalam pengobatan dan dalam ritual atau doa. Ada kopi ‘kul-hu’ yang digunakan dalam doa kematian. Biji-biji kopi (green bean) dipakai untuk menghitung lantunan doa. Di akhir ritual, kopi disangrai dan diseduh untuk diminum bersama.

Cara produksi kopi masih tradisional. Kebanyakan menggunakan natural pecah buah. Buah kering dipecah pakai teknik tumbuk. Lalu untuk menggorengnya dicampur beras 1:1 dan irisan kelapa sesuai selera.

Pak Ning menunjukkan tanaman kopi di kebunnya.

Saya berjumpa Pak Ning, seorang petani yang mempraktikkan wanatani (sistem pertanian tumpang sari). Kebunnya yang kurang lebih 3 ha itu ditanami aneka jenis tanaman komoditi: karet, pinang, sawit, kopi, dll. Tidak ada komoditi yang ia anak emaskan. Semua bisa menjadi penopang ekonomi keluarganya.

Saya cukup takjub melihat sawitpun ditanam tumpang sari; dan menurut Pak Ning, tetap bisa menghasilkan. “(Hasil sawit) tidak sebanyak budidaya intensif, tapi saya punya banyak sumber pendapatan dari satu lahan. Maka saya lebih suka bertani dengan model seperti ini,” katanya dengan mantab.

Tak hanya tanaman komoditi, tumbuhan liar dan jejamuran yang hidup di kebun pun dirawatnya. Tak heran jika masuk ke kebunnya terasa seperti masuk hutan belantara. Banyak tumbuhan dan jamur yang bisa dimakan. Lumayan tidak perlu membeli, begitu kira-kira cara berpikir beliau.

Di usianya yang sudah tidak lagi muda, Pak Ning terbilang kuat minum kopi. Setidaknya dua atau tiga kali sehari. Kopi yang dikonsumsinya diolah dari kebun sendiri yang disangrai bersama beras putih dan irisan kelapa. Jika hasil panen kopi cukup melimpah, baru sebagian lainnya dijual ke warung.

Di waktu senggang, ia dan istrinya menganyam tikar pandan. Ada aneka macam motif anyaman yang dibuat. Bahan bakunya tak perlu jauh-jauh, persis di belakang dapur rumah sederhananya. 

Bagi Pak Ning, cara bertani seperti itulah yang ia percaya menjamin masa depan tanpa terlalu banyak kekhawatiran. Bagi saya, Pak Ning memberikan pelajaran tentang cara hidup sebagai manusia tropis.

Pulang dari Penjalaan, kami berniat menemui para peternak kelulut di Desa Rantau Panjang. Sayangnya, pengelola kebun kelulut sedang tak di rumah. Namun, melihat kelulut yang dipeliharanya, saya optimis para peternak itu bisa sukses. Sangat strategis untuk mendorong adanya kebun penangkaran. Bila dikombinasikan dengan wanatani seperti yang saya jumpai di Penjalaan, hasilnya bisa maksimal. Madu melimpah, dan kebun mendapat jasa ekologi berupa penyerbukan.

Pekawai, si buah khas Kalimantan.

Pulang menuju Ketapang kami mampir di pondok penjual durian. Kami mendapat durian lay atau pekawai. Buahnya relatif kecil. Warna daging buahnya oranye. Teksturnya kering namun rasanya cukup unik.

Hanya dua hari saya di Kayong. Namun, dua hari yang sangat kaya dengan pembelajaran dan pengalaman baru. Semoga kelak bisa ke Kayong lagi.

Terima kasih: FFI, Yayasan Palung

You Might Also Like

0 comments