Natuna nan memesona

    Pesawat Nam Air lepas landas dari Bandar Udara Hang Nadim Batam (BTH) membawa penumpang menuju Bandar Udara Ranai (NTX) di Natuna kira-k...

  

Pesawat Nam Air lepas landas dari Bandar Udara Hang Nadim Batam (BTH) membawa penumpang menuju Bandar Udara Ranai (NTX) di Natuna kira-kira pukul 14.40 WIB. Pesawat nyaris penuh. Sejauh pengamatan saya, hanya ada beberapa kursi yang kosong. Pesawat Boeing 737-500 itu terbang sekira hampir satu jam lamanya sampai mendarat dengan mulus.

Pemandangan Gunung Ranai langsung menarik atensi mereka yang baru pertama kali datang ke Natuna. Tak terkecuali, saya yang mengunjungi kabupaten di ujung utara Indonesia ini pada awal September lalu. Gunung setinggi sekira seribu meter itu tampak gagah dengan puncaknya tertutup kabut tipis, setipis dompet saya.

Kota Ranai berada di Pulau Bunguran, merupakan pulau terbesar di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Luasnya kurang lebih 1.605 km2. Di samping Pulau Bunguran, Kabupaten Natuna memiliki ratusan pulau lainnya yang ukurannya rata-rata jauh lebih kecil. Gugusan kepulauan ini terletak di Laut Natuna, atau dulu dikenal sebagai Laut Cina Selatan.

Di sekitar Kota Ranai ini ada banyak destinasi yang menarik untuk dikunjungi. Kami sempat mampir ke Masjid Agung. Cantik nian masjid ini berlatar Gunung Ranai, sementara di depannya ada semacam kolam yang lumayan luas. Maka tak heran, masjid ini dijuluki Taj Mahal-nya Natuna. 

Alif Stone Park

Dari Masjid Agung lalu bergeser ke Alif Stone Park. Lokasi ini berupa pantai berbatu (hasil googling menyebut granit) yang sangat cantik. Panoramanya mengingatkan pada pantai di Babel pada film Laskar Pelangi. Alif Stone bukan satu-satunya situs batu di Natuna. Ada 9 situs geologi (disebut geosite) yang menjadikan Natuna ditetapkan sebagai Geopark Nasional.

Tujuan utama kami ke Natuna adalah ke Desa Mekar Jaya. Letaknya di ujung lain Pulau Bunguran dengan jarak sekira 60 km dari Kota Ranai. Namun, karena jalannya bagus dan lalu lintas sepi, perjalanan bisa ditempuh satu jam lebih sedikit. Malam itu, kami menginap di rumah sahabat kami, Bang Ahdiani. Perkenalkan, Ahdiani, seorang guru di sekolah dasar yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian kekah dan alam Natuna. Ia pun menginisiasi gerakan "Mantau Kekah".

Suasana Desa Mekar Jaya

Pagi hari di Mekar Jaya disambut dengan dua bungkus “nasi dogong” bumbu lebe dengan gulai ikan tongkol. Porsi nasi yang bungkus daun pisang dengan cara yang unik ini kira-kira sebanyak nasi kucing di Jawa, atau lebih besar sedikit. Ikan utama yang dikonsumsi orang Natuna adalah tongkol ini. Tongkol ya, jangan salah ucap. Orang Natuna tidak bisa dipisahkan dari ikan. Badan terasa lemas kalau belum makan ikan, begitu kata Bang Ahdiani.

Kami ke Natuna dalam rangka mencari “kekah”, sejenis monyet daun jenis Presbytis natunae. Kekah atau surili natuna ini merupakan primata endemik Pulau Bunguran, artinya jenis ini di habitat alaminya hanya ada di Natuna, khususnya Bunguran. Kini, binatang khas Natuna ini statusnya terancam punah (Rentan pada Daftar Merah IUCN). 

Kekah Natuna 

Selepas sarapan pagi, kami bergerak mencari kekah. Rutenya dimulai dari sekitar kampung saja. Di kebun campur yang didominasi tegakan karet, kami melihat kekah dari kejauhan. Lalu, di dekat sebuah simpangan jalan, kami menemukan beberapa individu lagi. Kemungkinan masih kelompok yang sama. Mereka langsung berhamburan masuk ke hutan. Maklum saja, kekah adalah binatang pemalu.

Kebun campur habitat kekah natuna 

Mendapatkan kesempatan berada di Natuna membuat kami berniat mengetahui lebih banyak tentang tempat ini. Kami berencana salat jumat di Sedanau, ialah ibu kota kecamatan Bunguran Barat. Letaknya berada di pulau yang terpisah dari pulau utama. Dari dermaga, kami naik perahu speed milik bang Ahdiani. Speed bergerak keluar melalui sungai kecil, lalu melaju kencang di tengah teluk yang airnya cukup tenang.

Perjalanan ke Sedanau naik speed hanya memakan waktu sekira setengah jam. Padahal, kalau memakai perahu nelayan biasa alias pompong bisa satu jam atau lebih. Memasuki Sedanau kami disambut keramba-keramba ikan napoleon dan kerapu. Inilah bisnis besar di Natuna yang mengantarkan banyak orang menjadi kaya raya.

Kota Sedanau

Sedanau adalah kota kecil di atas air. Rumah-rumah dan semua bangunan dibangun di atas tiang-tiang kayu atau beton. Jalan-jalannya juga melayang di atas air. Sedanau dulunya bisa dibilang jantung ekonomi Natuna, sebelum pindah ke Ranai. Perdagangan ada di kota ini karena pada masa itu kapal lebih aman sepanjang musim. Tak heran, banyak tokai-tokai besar di sana pada masa itu. Seiring perkembangan transportasi yang modern, sebagian tokai pindah dan membangun bisnis di Ranai.

Sehabis salat jumat di Sedanau, kami bergerak ke pulau Burung, sebuah pulau karang kecil yang langsung terhubung laut lepas. Gelombang laut cukup besar namun Bang Ahdiani masih tenang mengendalikan perahunya. Di luar kebiasaan, pulau yang biasanya dihuni ribuan burung dara laut, kali ini sunyi. Sepi. Pecahkan saja gelasnya biar ramai. Kami hanya melihat dari kejauhan burung-burung dara laut itu di laut lepas sedang memburu ikan. Mungkin sedang tidak musim berbiak.


Pulau Burung

Setelah mengelilingi pulau Burung, kami mencari tempat makan siang. Kami melaju ke Pulau Kembang. Pulau ini jauh lebih besar daripada Pulau Burung dan letaknya lebih ke dalam teluk. Jadi kami memperkirakan lautnya lebih teduh. 

Benar saja, laut di sekitar Pulau Kembang jauh lebih tenang. Airnya lumayan jernih sehingga terumbu karang di dasar laut tampak cukup jelas. Kami membuka bekal makan dengan menu: nasi, tongkol asam manis, dan kepiting. Makan siang agak telat di atas perahu sambil mengamati Pulau Kembang yang berselimut hutan sungguh pengalaman mewah.

Pulau Kembang adalah habitat burung pergam laut dan burung merpati hutan perak. Burung yang saya sebut kedua merupakan jenis terancam punah dengan status kritis. Burung-burung pergam dan merpati hutan menggunakan pulau ini untuk beristirahat dan berbiak. Pada pagi hari, mereka terbang ke pulau utama untuk mencari makan, lalu kembali lagi ke pulau kecil ini pada sore hari.

Pulau Kembang 

Puas menikmati keindahan Pulau Kembang, kami bergerak pulang ke Mekar Jaya. Saat di dermaga, ada seorang warga menginfokan bahwa ada serombongan kekah sedang makan di kebun belakang rumahnya. Kami pun bergegas meluncur ke sana. Benar saja, kekah-kekah itu asyik makan biji pohon karet. Sebagian lainnya makan pucuk daunnya.

Hari berikutnya, kami berencana mencoba jalan baru yang menghubungkan Ranai ke kompleks pelabuhan lewat pinggir pantai. Pukul delapan kami sudah bergerak. Kami menuju ke kompleks pelabuhan. Jalan dari Mekar Jaya menuju pelabuhan merupakan kombinasi tanjakan dan turunan yang cukup terjal, tetapi jalannya sudah sangat bagus. Kompleks pelabuhan ini terdiri dari pelabuhan milik Pertamina, pelabuhan milik TNI AL (faslabuh), dan pelabuhan “Bu Susi” ialah pelabuhan nelayan yang dibuat pada masa Susi Pudjiastuti jadi menteri kelautan.

Jalur tepi pantai. 

Pemandangan di kompleks ini benar-benar memanjakan mata. Bukit-bukit di belakang pantai, bangunan-bangunan pelabuhan yang tampak megah, kapal-kapal nelayan yang singgah, dan gugusan pulau-pulau di depan sana dikelilingi birunya laut beratapkan langit berhias gumpal-gumpal awan tipis. Pemandangan indah terus bisa dinikmati sepanjang jalan baru menuju arah Ranai yang melewati tepian pantai. Jalan ini baru diresmikan beberapa waktu lalu. Tak hanya indah, tetapi memberikan dampak positif bagi warga Natuna. Kami menjumpai satu kampung yang dahulu terpencil, kini aksesnya benar-benar lancar karena adanya jalan baru itu. 

Kembali ke Ranai, kami menyempatkan berdiskusi dengan sebuah komunitas anak muda yang punya kepedulian terhadap tanah tumpah darah mereka, Bumi Natuna ini. Komunitas ini menamakan diri sebagai Umah Saki yang artinya kira-kira “tempat saling mengejek.” Tentu saja, mengejek dalam arti yang positif. Komunitas ini terdiri dari anak-anak muda dari berbagai latar belakang: penyair, arkeolog, pendidik, hingga aktivis pergerakan. 


Bang Ahdiani (kanan), bersama Mas Wawan Founder Swaraowa.

Kami menutup kunjungan di Natuna dengan makan siang di sebuah warung sederhana. Menu ikan di warung ini sangat menggoda selera. Natuna benar-benar memanjakan penikmat ikan laut. Kami mesti memuaskan lidah dengan ikan-ikan itu karena sebentar lagi kami akan meninggalkan pulau indah ini, pulau yang kalau kamu asal jepret kamera saja hasilnya pasti cantik! Ho-oh tenaan!

You Might Also Like

0 comments