Bukittinggi (dan sekitarnya) nan permai

Dalam rangkaian petualangan kopi ke Sumatera di pertengahan 2015, saya mengunjungi Bukittinggi. Saya hanya berdua saja dengan seorang kawan....

Dalam rangkaian petualangan kopi ke Sumatera di pertengahan 2015, saya mengunjungi Bukittinggi. Saya hanya berdua saja dengan seorang kawan. Dari Gayo, lanjut ke Sabang kemudian Banda Aceh; lalu melanjutkan perjalanan ke Bukittinggi melalui jalur darat. Bus “ALS” menjadi pilihan kami. Perjalanan dari Medan ke Bukittinggi memakan waktu kurang lebih 20 jam. 

Kami berangkat dari Medan  pada siang hari, dan tiba di Bukittinggi pagi menjelang siang. Perjalanan naik bus legendaris di Sumatera ini cukup mengasyikkan, kami melewati rute: Medan – Tebingtinggi – Simalungun - Pematang Siantar - Danau Toba / Parapat – Porsea – Padang Sidempuan – Pasaman – Bukittinggi. 

Melewati pinggiran Danau Toba semestinya memberikan pengalaman yang mengesankan. Namun, kabut asap yang menyelimuti sebagian besar Pulau Sumatera pada waktu itu, membuat suasana yang kurang sempurna. Danau Toba nyaris tak terlihat, hanya garis tepiannya yang samar-samar kami lihat dari dalam bus ALS yang berbadan bongsor itu. 

Seorang kawan, yang baru saja dikenalkan kepada kami oleh kawan di Medan, telah menyambut di Bukittinggi. Di kota yang sarat akan nilai sejarah ini, kami menginap di Hotel Orchid, sebuah hotel kecil yang cukup nyaman. Hotel ini meskipun cukup sederhana, tetapi bersih dan tertata rapi. Alasan kami memilih hotel ini selain karena harganya yang murah, juga karena alasan aksesibilitas. Hotel ini dekat dengan banyak objek wisata khas Bukittinggi. Dari kamar hotel kami bisa melihat Jam Gadang, meskipun jaraknya lumayan jauh. Pada malam hari, bangunan landmark bersejarah ini disorot lampu sehingga menambah keindahannya.

Dari hotel berjalan kaki ke Jam Gadang hanya butuh 20 menit. Jam Gadang bisa dibilang merupakan icon utama Bukittinggi. Ibaratnya, belum ke Bukittinggi kalau tidak mampir ke Jam Gadang. Dibangun pada 1926-1927, bangunan kebanggaan masyarakat Bukittinggi ini menjadi saksi sejarah sejak era prakemerdekaan hingga setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan, di Jam Gadang inilah bendera merah putih pertama kali berkibar di Kota Bukittinggi.

Lalu ada benteng Fort de Kock, benteng yang didirikan Kapten Bouer di atas Bukit Jirek ini merupakan peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1925. Fungsinya adalah sebagai pertahanan pasukan Belanda pada masa Perang Paderi. Kini, benteng Fort de Kock sudah banyak dipugar dan dijadikan taman kota. Namun, bentuk asli benteng, beserta kelengkapan seperti meriam, masih dipertahankan.

Dari Benteng Fort de Kock, kami menyeberang melalui Jembatan Limpapeh menuju Taman Margasatwa Kinantan. Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan ini sekilas menyerupai kebun binatang pada umumnya. Namun, ternyata kondisi binatang-binatang penghuninya tidak biasa. Seekor harimau sumatera yang saya jumpai ternyata satu kakinya buntung karena dulunya terkena jerat para pemburu. Masih di kompleks Kinantan, saya mengunjungi Museum Rumah Adat Baanjung. Museum ini menyimpan koleksi benda-benda budaya Minangkabau, mulai dari pakaian adat hingga perkakas rumah tangga.

Lalu kami juga mengunjungi Ngarai Sianok, sebuah lembah curam atau jurang memanjang yang menjadi batas Bukittinggi. Sayangnya, waktu itu sedang terjadi kabut asap sehingga pemandangan kurang baik. Di Ngarai Sianok ini banyak monyet ekor panjang. Destinasi baru juga dibangun di sana yaitu Janjang Koto Gadang, tembok panjang yang menyerupai tembok besar di Cina dalam versi mini. Panjangnya sekira satu kilometer. Orang-orang ramai berdatangan ke tembok ini untuk berfoto.

Selain menjelajahi setiap sudut Bukittinggi, saya juga mengunjungi objek-objek wisata yang lokasinya cukup jauh dari kota. Pertama, ke Danau Maninjau yang berada di Kabupaten Agam, sekira satu jam perjalanan dari Bukittinggi. Danau ini terbentuk karena proses vulkanik yaitu merupakan sisa letusan gunung api purba. Dari sisi biologi, Danau Maninjau ini unik karena memiliki ikan yang endemik yaitu ikan rinuak, jenis ikan kecil dari Marga Psilopsis. Ikan kecil ini diolah menjadi aneka hidangan khas. Kuliner khas lainnya dari danau ini adalah kerang pensi, yang banyak di jual di pinggir danau.

Seorang penjual kerang pensi di tepi Danau Maninjau.

Dari Maninjau, kami bergerak menuju Danau Singkarak di Kabupaten Solok dan Tanah Datar. Danau ini tak kalah unik karena sama-sama memiliki ikan endemik yaitu ikan bilih (Mystacoleucus padangensis). Berbeda dengan Danau Maninjau, Danau Singkarak terbentuk dari proses tektonik yang dipengaruhi oleh Sesar Sumatra. Danau ini menjadi bagian dari Cekungan Singkarak-Solok, terbentuk dari amblesan yang diakibatkan oleh aktivitas pergerakan Sesar Sumatra. Cekungan besar ini terbendung oleh material vulkanik dari letusan gunung api sekitarnya hingga terbentuklah sebuah danau yang sekarang kita kenal sebagai Danau Singkarak. 

Dari Danau Singkarak, kami mampir ke dua objek wisata sejarah yaitu Istano Basa Pagaruyung dan Prasasti Adityawarman. Istana Pagaruyung merupakan peninggalan Kerajaan Pagaruyung (abad 17). Namun, istana yang sekarang ini merupakan replikanya saja, karena istana yang asli sudah hancur pada masa perang. Kini, replika istana ini dijadikan museum yang menyimpan berbagai koleksi sejarah dari Kerajaan Pagaruyung.

Tak jauh dari Istana Pagaruyung, kami mampir ke Prasati Adityawarman. Cagar Budaya ini terletak di pinggir jalan lintas Batusangkar. Adityawarman adalah salah satu raja pada Kerajaan Pagaruyung pada masa agama Buddha. Pada tahun 1347, Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja Malayapura (Minangkabau) yang dirujuk menjadi kerajaan Melayu yang berada di Dharmasraya. Adityawarman adalah anak dari Dara Jingga, seorang putri dari kerajaan Dharmasraya. Sedangkan ayahnya adalah seorang petinggi kerajaan Majapahit di Jawa.

Tak terasa, beberapa hari di Bukittinggi telah dihabiskan. Di akhir petualangan di Bukittinggi, kami mengunjungi Rumah Bung Hatta. Rumah ini didirikan sekitar tahun 1860-an dan menggunakan struktur kayu yang terdiri dari bangunan utama, paviliun, lumbung padi, dapur, dan kandang kuda, serta kolam ikan. Rumah asli tempat Bung Hatta dilahirkan sebenarnya sudah runtuh pada tahun 1960-an. Namun, ada upaya untuk membangun rumah tersebut sebagai penghargaan atas jasa-jasa Bung Hatta. Setelah melalui penelitian panjang dilanjutkan rekonstruksi semirip mungkin dengan aslinya, Rumah Bung Hatta terwujud pada tahun 1995.

Rasa-rasanya, butuh waktu lebih lama lagi untuk menikmati Bukittinggi dan sekitarnya secara lebih lengkap. Masih banyak destinasi yang belum sempat kami kunjungi. Tentunya saya sendiri masih menyimpan harapan agar suatu saat bisa mengunjungi lagi kota bersejarah ini. Bukittingi, bagi saya merupakan kota yang sangat berkesan dan selalu terkenang selalu.

You Might Also Like

0 comments