Tersesat di hutan

  Selalu ada pengalaman seru saat pergi ke pelosok-pelosok negeri. Serius. Namun, keseruan itu seringkali baru bisa dirasakan jauh setelah p...


 

Selalu ada pengalaman seru saat pergi ke pelosok-pelosok negeri. Serius. Namun, keseruan itu seringkali baru bisa dirasakan jauh setelah peristiwa itu terjadi. Pada saat mengalaminya, alih-alih merasakan keseruan, justru perasaan takut, cemas, nelangsa, atau perasaan tidak enak lainnya yang kita rasakan. Saya pernah, mengalami kejadian di luar rencana, yang saat itu benar-benar bikin perasaan campur aduk di dalam hati. Tapi justru sekarang, kalau dirasa-rasa, membekas menjadi pengalaman tak terlupakan. 

Waktu itu, di pelosok Sumatera, ada sebuah pekerjaan yang mengharuskan saya masuk ke kampung yang jaraknya kurang lebih 23 km dari jalan utama. Bukan saja jaraknya yang cukup jauh, tetapi akses menuju desa masih terbilang susah. Jalan tanah, melewati area perkebunan dan hutan. Jalan itu bercabang-cabang, sehingga kalau tidak hafal medan bisa tersesat. 

Kami satu tim berempat, menggunakan dua motor. Satu motor trail (yang benar-benar trail), sementara satunya lagi motor trail jadi-jadian (motor bebek yang dimodifikasi menyerupai trail). Sayangnya, si jadi-jadian ini modifikasinya nanggung. Hanya bagian rodanya saja yang diubah, bannya diganti ban penggaruk tanah.

Perjalanan berangkat terasa relatif nyaman. Jalan di sini, kalau kering tantangannya paling-paling berdebu. Namun, kalau sudah kena air hujan, jadinya lengket, licin, dan susah dilalui. Sempat kami menemui rintangan berupa kubangan lumpur yang membutuhkan keahlian berkendara yang mumpuni. Rintangan-rintangan itu masih bisa dilalui dengan mulus. Termasuk oleh si trail jadi-jadian yang saya tumpangi bersama kawan saya.

Sampai di desa yang kami datangi, saya terheran-heran karena ada mobil berjenis sedan hatchback terparkir di depan salah satu rumah. Bagaimana bisa, mobil tipe itu masuk kemari? Sedangkan, dengan naik motor trail saja agak kesusahan. Konon, mobil itu hanya keluar-masuk pada saat cuaca benar-benar bagus. Itupun dengan susah payah. Kalau harus bersusah payah, mengapa memilih jenis mobil itu? Ah, bukan urusan saya.

Aktivitas kami di desa itu selama beberapa hari lancar, nyaris tidak ada rintangan sedikitpun. Hingga pada hari di saat kami akan pulang, tak seperti hari-hari sebelumnya, cuaca berubah drastis. Dari pagi mendung gelap menggantung, dan siangnya mulai turun hujan dengan derasnya. Sesekali petir menyambar. Rencana kepulangan, yang seharusnya pagi tadi, menjadi buyar. Tertunda, menunggu hujan benar-benar reda. 

Sekitar jam 3 sore, hujan reda. Rencana kepulangan perlu didiskusikan ulang dengan serius. Pertimbangan pertama, besok ada agenda lain yang tidak bisa ditunda. Kedua, pulang pada sore ini memiliki risiko. Misalnya terjebak lumpur, tersesat (karena tidak ada satupun di antara kami yang paham betul dengan jalan-jalan di area kebun), atau bisa jadi trouble lainnya.

Perjalanan keluar dari desa, dalam kondisi normal, bisa ditempuh kurang lebih 2 jam. Dalam kondisi becek setelah diguyur hujan, mungkin 3-4 jam. Jadi, jika berangkat jam 3 sore maka setidak-tidaknya jam 7 malam sudah bisa mencapai jalan besar di luar sana. Kamipun membulatkan tekad untuk pulang sore ini juga.

Setelah berpamitan, kami segera memacu sepeda motor kami. Genangan-genangan bertambah banyak. Terkadang, pembonceng mesti turun dulu saat melibas genangan lumpur. Jalan juga jauh lebih licin. Pengendara motor trail (yang beneran trail) justru merasakan terpeleset terlebih dahulu. Gedebugh! Dua orang, yang ukuran tubuhnya di atas rata-rata, tersungkur berlepotan lumpur. Kami masih bisa tertawa-tawa saat itu.

Saya yang membonceng motor trail jadi-jadian lebih sering turun, dan berjalan kaki. Begitu menemui kubangan lumpur, ban motor lebih cepat penuh dengan tanah liat dan membuatnya tidak mampu berjalan. Kami harus sering-sering berhenti untuk membersihkannya.

Hari sudah mulai gelap saat kami menemukan percabangan jalan. Kira-kira, ini sudah setengah perjalanan. Kawan saya, yang paling banyak punya pengalaman di sini, memberikan dua opsi. Mengambil jalur ke kanan, dengan resiko jalan lebih licin dan naik-turun. Atau, belok ke kiri yang jalannya lebih landai, tetapi resiko tersesat lebih besar. Dia sendiri tidak yakin pernah mengambil arah kiri, hanya mengandalkan informasi dari warga kampung.

Dengan pertimbangan keselamatan, kami memutuskan mengambil arah kiri. Harapannya, jalan itu tidak terlampau licin. Konturnya juga konon lebih landai sehingga kalaupun terpeleset, tidak menimbulkan bahaya yang fatal. Harapan kami semakin besar karena di perjalanan masih bisa menjumpai pemukiman-pemukiman kecil yang dihuni para perambah hutan. Kami sempat mampir untuk beristirahat sejenak di salah satu pondokan sederhana itu. Sekadar meluruskan kaki yang sudah terasa pegal.

Tak lama kemudian, kami melanjutkan perjalanan. Sekarang benar-benar sudah gelap sehingga kami hanya fokus melihat ke depan. Bukannya jalanan tambah membaik, justru kami lebih sering berhenti untuk membersihkan roda motor dari tanah yang sangat lengket. Para pembonceng nyaris tidak pernah naik ke motor. Saya dan kawan saya yang sama-sama pembonceng lebih banyak berjalan kaki dengan beban tas di punggung, sambil menjinjing sandal yang berat karena penuh lumpur.

Perasaan saya semakin tidak enak karena jalan ini semakin menyempit dan teksturnya tidak padat, sangat berbeda dengan jalan yang kami lalui di awal-awal tadi. Dibantu senter kecil yang selalu menemani, saya amati jalan itu. Tidak ada bekas tapak kendaraan. Sepertinya untuk waktu yang cukup lama. Jangan-jangan ini bukan jalan yang seharusnya. 

Setiap berjalan maju 10 meter, si trail jadi-jadian sudah tak mampu lagi lanjut. Rodanya terbelit tanah liat yang superlengket. Berjam-jam kami berjuang untuk terus bergerak. Maju sedikit, bersihkan roda, maju sedikit, bersihkan roda. Begitu seterusnya, sembari berharap menemukan jalan lain yang lebih baik. Saat kami temui sebuah tanjakan, motor itu akhirnya benar-benar tak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Fix, kami tersesat. Di tengah hutan dan menjelang tengah malam. Satu lagi, kami semua belum makan.

Dalam situasi kalut, lapar, dan kecapekan, kami berembug. Motor trail (yang beneran trail) masih bisa jalan sehingga masih ada peluang untuk keluar dari hutan, mencari bantuan. Setidaknya mencari makanan untuk mengganjal perut. Memang, tidak ada yang tahu pasti masih seberapa jauh jalan ini. Bahkan, arahnya menuju kemana pun kami tak tahu. 

Oh ya, tidak ada jaringan/sinyal ponsel di sini. Sama sekali, blank. Jadi, tidak ada gunanya mencoba menelpon teman atau mengirim sms. Apalagi mencoba live instagram. Saya bahkan lupa di mana saya menaruh ponsel saya.

Diputuskan dua orang mencari bantuan, sedangkan dua orang ditinggal, menunggu di tengah belantara ini. Saya kebagian menunggu. Dua kawan saya, yang memiliki sedikit pengalaman di daerah ini, mengemban misi berat mencari pertolongan.

Menunggu tanpa kepastian, di tengah malam, di hutan pula. Ini jelas bukan perkara mudah. Saya tidak mengenal daerah ini. Bagaimana jika ada binatang buas yang sedang mengintai? Beruang, misalnya. Apalagi, waktu itu kami membawa beberapa botol madu yang kami peroleh dari desa. Beruang kan mengincar madu. Saya mencoba mencari batang kayu yang agak besar. Juga beberapa batu sekepalan tangan. Saya taruh di dekat tempat saya duduk. Buat berjaga-jaga. 

Sekira dua jam telah kami habiskan untuk menunggu datangnya bantuan. Saya dan seorang kawan saya sesekali masih bisa bercakap-cakap. Namun, saya sendiri lebih sering membayangkan nasi padang. Alangkah enaknya bila dimakan dalam situasi seperti ini.

Sorot cahaya sepeda motor tampak dari kejauhan. Ini pasti kawan-kawan saya yang telah kembali. Semoga mereka menemukan cara untuk keluar dari hutan ini. Atau, setidaknya membawa makanan yang enak dan mengenyangkan. Syukur-syukur nasi padang.

Benar saja, dua kawan saya kembali. Mereka berlepotan lumpur yang masih segar. Saya tidak bisa membayangkan betapa berat medan jalan di depan sana. Mereka berhasil mencapai jalan besar. Katanya masih cukup jauh, setidaknya dibutuhkan waktu satu jam untuk mencapainya. Kabar lainnya, tidak ada warung makan di luar sana. Masih beruntung sebotol beer air mineral dan beberapa bungkus biskuit bisa didapat. Itupun, kata mereka, setelah menggedor warung yang sudah tutup. 

Kawan saya juga menyampaikan, di tengah-tengah antara posisi kami menunggu ini dengan jalan besar di luar sana, ada sebuah pondok milik petani. Pondok itu menjadi satu-satunya tempat yang layak untuk beristirahat di sisa malam ini. Kalau jalan kaki, kira-kira butuh satu jam untuk mencapainya.

Kamipun bergerak menuju pondok itu. Satu orang mengendarai trail, sementara sisanya berjalan kaki. Tak ada pilihan lain, si motor trail jadi-jadian ditinggal di hutan. Toh, tidak akan ada orang yang mampu membawanya kabur sebelum jalan benar-benar kering.

Setelah berjalan cukup lama, sampailah kami di pondok kecil itu. Jam tangan saya menunjukkan pukul 3 dini hari. Pondok ini biasanya digunakan oleh si pemiliknya untuk menjaga ladang dari serangan binatang hama seperti babi hutan. Sialnya, malam ini pemiliknya sedang tidak berjaga. Pondok ini terkunci. Tak ada pilihan lain, kamipun merebahkan diri di teras pondok itu. Di tanah, tanpa alas, apalagi selimut. Yang penting, terlindung dari hujan. Gerimis masih sesekali turun. Tak lama kemudian, kami sudah menjemput mimpi masing-masing.

Suara desahan ayam hutan dan nyanyian owa ungko membangunkan kami di pagi harinya. Begitu kami semua bangun, gelak tawa kami pecah. Tersorot cahaya matahari pagi yang masih malu-malu, kami baru bisa melihat dengan jelas bahwa kami semua berlepotan lumpur tak keruan. Nyaris tak bisa dikenali. Untungnya, di belakang pondok ini ada drum tampungan air hujan yang airnya cukup untuk sekadar mencuci tangan dan membasuh muka kami semua.

Matahari semakin tinggi, suara yang berasal dari perut semakin menjadi-jadi. Seperti biasa, kami duduk melingkar untuk berembug. Keputusannya: satu orang teman saya keluar mencari makanan. Dari pondok ini menuju jalan besar sebenarnya sudah tidak terlampau jauh, dan jalannya semakin membaik. Jadi, seharusnya tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan makanan.

Benar saja, sekira satu jam kemudian teman saya sudah kembali dengan membawa empat bungkus makanan dan teh hangat. Betapa gembiranya hati kami. Sebentar lagi, perut kami akan segera terisi. Kami butuh banyak energi karena masih harus kembali ke hutan untuk menggambil si trail jadi-jadian. Tentunya nanti siang, setelah jalan kering. Dengan tergesa-gesa, saya membuka bungkusan itu. Seketika senyum saya merekah. Ternyata, isinya: NASI PADANG!


*Foto oleh Kang Antok

You Might Also Like

0 comments