Ekosistem bakau

Selain mengunjungi Sungsang di Muara Sungai Musi (catatannya saya tuliskan di sini ), akhir 2019 saya sempat juga mengunjungi Tanjungsari, s...

Selain mengunjungi Sungsang di Muara Sungai Musi (catatannya saya tuliskan di sini), akhir 2019 saya sempat juga mengunjungi Tanjungsari, sebuah daerah di tepian Taman Nasional Berbak Sembilang. Lokasinya di sekitar perbatasan Kabupaten Musi Banyuasin dan Banyuasin. Daerah ini bisa dicapai menggunakan modal transportasi air. Menyusur tepian bakau dan rawa-rawa di pesisir timur Sumatera.

Saya lupa berapa lama saya duduk di speed boat kecil yang membawa kami membelah sungai besar dan kanal-kanal kecil menuju Tanjungsari. Namun, saya kira lebih dari tiga jam sehingga saya puas menikmati tepian lahan basah atau biasa dikenal dengan mangrove. Kawan-kawan saya mengatakan bahwa kalau beruntung bisa menyaksikan buaya-buaya yang sedang berjemur di tepian sungai. Saya tidak beruntung menyaksikannya. Atau sebenarnya justru beruntung karena tidak menjadi makan siang buaya ya?

Mangrove, sebuah ekosistem yang tersusun dari beraneka ragam jenis tanaman bakau, menarik untuk dipelajari. Ekosistem ini biasanya berkembang pada pantai pasang surut, laguna, estuari, maupun endapan lumpur lainnya. Ekosistem bakau memiliki ciri-ciri yang spesifik dan unik, antara lain: tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang; terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya berkadar garam (salinitas) payau hingga asin.

Vegetasi bakau disusun oleh berbagai jenis tanaman yang spesifik. Tanaman bakau telah teradaptasi untuk dapat hidup pada habitat pasang-surut, dan memiliki salinitas tinggi. Karakteristik vegetasi bakau antara lain: memiliki jenis pohon yang relatif sedikit; memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora); memiliki biji (propagul) yang dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora spp.; dan memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

Menurut Arief (2001), hutan bakau atau mangrove memiliki beberapa fungsi yaitu:
-Fungsi fisik, misalnya dalam menahan laju abrasi,
-Fungsi biologis, antara lain sebagai tempat pemijahan ikan dan habitat biota,
-Fungsi kimia, yaitu sebagai tempat terjadinya dekomposisi,
-Fungsi ekonomi, yaitu menyedikan berbagai komoditas seperti kayu.

Bagi masyarakat nelayan, ekosistem bakau juga sangat penting. Hal ini karena sebagian hasil tangkapan nelayan tergantung pada keberadaan bakau. Ikan dan udang bisa terus melimpah karena ketersediaan tempat memijah atau mencari makan yang tersedia di ekosistem ini. Demikian juga kepiting. Jika terjadi kerusakan dan luasannya semakin menyusut, tentunya bisa berdampak buruk bagi sektor perikanan kita.

Dalam perjalanan ini seringkali kami jumpai bagan-bagan di sungai-sungai besar, dekat dengan hamparan mangrove. Bagan atau kelong tancap adalah rumah yang dibangun di atas sungai, muara, tepi ataupun lepas pantai. Nelayan membangun bagannya dekat dengan hutan bakau karena di sanalah banyak ikan, udang, dan kepiting bisa ditemukan dengan jumlah yang melimpah.

Fungsi bagan-bagan bagi nelayan adalah sebagai rumah tinggal sementara sekaligus tempat produksi. Biasanya dilengkapi dengan peralatan tangkap ikan dan udang, berupa tuguk atau alat tangkap yang memanfaatkan arus pasang surut. Target tangkapan utamanya adalah ikan teri. Sedangkan cumi-cumi, pepetek dan ikan pelagis kecil lainnya merupakan hasil tangkapan sampingan.

Di atas bagan ini selain dibangun rumah singgah; juga dilengkapi tempat penjemuran untuk produksi teri, ikan asin, atau terasi. Nelayan akan tinggal di bagan cukup lama. Untuk memenuhi kebutuhan logistik biasanya telah disuplai oleh para pengepul produk, bersamaan saat mereka mengumpulkan produk nelayan. Ada juga nelayan yang mencukupi kebutuhan logistik secara mandiri.

Sebagian nelayan lainnya tidak memiliki bagan. Ada istilah "nelayan balik hari". Nelayan tipe ini adalah mereka yang biasanya mencari ikan berangkat pagi pulang sore atau tidak menginap. Terkadang ada pula yang bekerja pada malam hari, tergantung target tangkapannya. Rata-rata hasil tangkapan mereka juga tidak banyak, penjualannya cukup untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. 


Seperti seorang nelayan pencari kepiting yang kami jumpai di tepian sungai.
Nelayan ini menaiki pompong atau perahu kecil bermesin yang menarik sampan kayuh. Sampan kayuh digunakan untuk memasuki sungai-sungai kecil di antara rimbunan bakau. Pada sungai-sungai kecil itu ia memasang beberapa perangkap kepiting bakau yang biasa disebut pintur. Prinsip kerjanya seperti bubu, yang di dalamnya diberikan umpan untuk menarik kepiting memasukinya. Sekali seeokor kepiting masuk, maka ia terjebak di dalamnya. Alat tangkap ini bisa dilipat sehingga cukup ringkas. Seorang nelayan bisa membawa puluhan pintur untuk dipasang dalam waktu bersamaan. 

Ekosistem mangrove atau bakau ternyata memberikan manfaat besar, baik dilihat menggunakan kacamata ekologi maupun ekonomi. Oleh karena itu, tak ada alasan untuk tidak melestarikannya.


Ref: Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius

You Might Also Like

0 comments